Kata 'lukis' tersebar dalam beberapa bahasa di Indonesia. Kata itu terdapat, misalnya, dalam bahasa Melayu, Minangkabau ('lukih'), dan bahasa Jawa. Karena dalam perjalanan kita dapat berubah arti, maka patut timbul pertanyaan: Apa arti kata 'lukis' dalam pemakaian sediakala?
Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menengok, misalnya, bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna tertulis. Di sana ternyata kata 'anglukis' di samping berarti melukis dalam pengertian sekarang, juga berarti mengukir (L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuna Indonesia , Nusa Inda, Ende, 1981). Kata 'anglukis' dalam bahasa Jawa baru masih mempunyai kedua arti itu (lihat W.J.S. Poerwadarminta, Baoesastra Djawa , Pakempalan Triwikrama, Ngajogja, 1930).
Jadi yang boleh disebut 'melukis' di zaman dulu bukanlah hanya merupakan (membuat apa) dengan mencoretkan garis dan mengoleskan warna. Merupa dengan memahat juga disebut 'melukis'.
Untuk beroleh gambar tentang faham orang dulu tentang kerja “melukis”, kita dapat memeriksa kitab Tantu Panggelaran (Tempat Panggelaran) yang dikarang pada abad ke-XVI, di bagian ketika batara Guru menitahkan beberapa dewa supaya turun ke Pulau Jawa untuk mengajarkan sejumlah kepandaian. Bagian ini menarik, karena dari situ kita mengetahui bahwa dalam masyarakat Jawa di zaman dulu bermacam-macam kepandaian dipandang berasal dari dewa-dewa. Misalnya, pandai besi berasal dari Hyam Brahma, pandai mas dari Hyang Mahadewa, kepandaian membangun rumah dari Hyang Wismakarma, dan kepandaian mengantih, menenun, serta berpakaian, dari Batari Sri.
Dapat dibayangkan berbagai kepandaian tangan itu dihargai orang, karena kepercayaan bahwa dewa-dewa sendirilah yang telah mengajarkannya kepada manusia dengan menjadi para tukang yang pertama.
Di antara para dewa itu ada yang diutus untuk turun ke Pulau Jawa menjadi pelukis. Itulah bagawan Ciptagupta, yang sebagai pelukis bernama Empu Ciptangkara.
Begini titah batara Guru kepadanya:
Bagawan Ciptagupta manglukisa, hamarnah-manarhalengkara sakarupaka ri cipta, masarana mpune tanganta; matangnya mpu Ciptangkarangarananta nglukis.
(Bagawan Ciptagupta melukislah, gubahlah hiasan menurut wujud dari cipta, dengan menggunakan empu tanganmu; maka empu Ciptangkara namamu sebagai pelukis).
Melukis dipahami sebagai kerja mengatur atau menyusun (hamarnah-marnah) rupa yang indah (lengkara atau hiasan) menurut wujud yang berasal dari cipta. Nama dewa pelukis itu sendiri patut diperhatikan. Di Kahyangan, di alam halus, ia bernama Ciptagupta, 'Cipta Tersembunyi'. Di dunia, di alam lahir, ia bernama Ciptangkara 'Pembuat Cipta' atau 'Orang Yang Mewujudkan Cipta'.
+ Doa Ibu Sepanjang Zaman Zico Albaiquni Konsekrasi di Cepuri Parangkusumo, Yogyakarta. Foto: Siam Artista. 2017. Hak cipta semua.
'Cipta' dalam pengertian lama ialah fikiran, gagasan, atau angan-angan (perhatikan ungkapkan 'mengheningkan cipta' dalam bahasa Indonesia, ataupun kata 'cipta' dalam bahasa Sunda dan Jawa).
Mengapa Batara Guru mengatakan 'dengan menggunakan empu (ibu jari) tanganmu?' Karena pengarang Tantu Panggelaran ingin menerangkan asal-usul sebutan 'empu' untuk pelukis. Juga sebutan 'empu' untuk pandai besi diterangkan dengan cara begitu: karena pandai besi menggunakan ibu jari kaki untuk menjepit salah satu alat. Kita dapat menerapkan jalan fikiran pengarang Tantu Panggelaran ini kepada gelar 'empu' untuk para pujangga: mereka menggunakan ibu jari tangan untuk menjepit alat tulis.
Tidak penting apakah keterangan tentang asal-usul sebutan itu benar atau tidak. Yang menari bagi kita ialah, pertama, pelukis mendapat sebutan 'empu' dan kedua, bahwa sebutan itu dihubungan dengan kerja tangan atau kecakapan tangan.
Dengan menggabungkan keterangan dari kamus dan dari Tantu Panggelaran , kita mendapat gambaran agak lebih jelas tentang paham melukis di masa dulu, yang dapat kita rumuskan dalam dua tahap, begini: (a) melukis ialah melahirkan pikiran, gagasan atau angan-angan ke dalam gubahan rupa yang indah atau yang memuaskan penglihatan; (b) gubahan itu dibuat dengan mencoretkan garis dan mengoleskan warna, atau dengan mengukir, dikerjakan dengan alat yang digenggam atau dijepit di antara jari.
Kita di zaman sekarang telah memisahkan dengan tegas pengertian mengukir dari pengertian melukis, demikian pula pengertian ukiran dari pengertian lukisan. Kuat sekali anggapan tentang kesepadanan antara kata 'melukis' dan kata to paint , antara 'lukisan' dan painting . Padahal kata Anglosakon itu (to paint, painting ) mengandung konotasi cat (paint ), sedang kata Indonesia itu (melukis, lukisan ) menurut aslinya, tidak.
Kita tidak bermaksud menggunakan kata 'lukis' seperti abad ke XVI. Di dalam menengok 'tradisi lukis' di Indonesia, kita tidak akan membicarakan pikiran, termasuk ukiran yang diberi warna. Banyak orang mengetahui tentang adanya tradisi ukir di mana- mana di Indonesia. Sebaliknya, tentang adanya tradisi lukis (dalam pengertian sekarang) di beberapa daerah di negeri kita, pada umumnya orang tidak tahu, termasuk para ahli seni rupa kita. Mereka ini biasanya banyak mengetahui tradisi seni lukis di Eropa.
+ Doa Ibu Sepanjang Zaman Zico Albaiquni, 2017. Hak cipta semua.
Termasuk ke dalam tradisi yang akan kita tengok ialah tradisi yang pernah ada, sejauh kita dapat mengetahuinnya. Itulah sebabnya kita akan membicarakan lukisan di tebing karang dan di dinding gua, yang ditemukan tersebar di beberapa pulau. Kita juga akan membicarakan lukis melukis di Majapahit, meskipun kita hanya dapat berpijak pada sumber tertulis, inipun langka. Selebihnya kita akan pergi dari pulau ke pulau, mencari dan mencatat tradisi itu.