The following Indonesian text is published for the first time with permission from Rifky Effendy.
Problematika dunia seni rupa Indonesia
Ledakan pasar seni rupa kedua di Indonesia pada tahun 2007-2009 menyadarkan para praktisi seni rupa akan fungsi sistem seni rupa yang ada. Awalnya hanya terkait dengan proses kreatif seniman, bidang produksi seni menjadi lebih kompleks dengan masuknya para pendukung dunia seni: media massa, jurnalis dan penulis seni, galeri, museum, kurator dan manajer, penyelenggara pameran, pembuat kebijakan, lembaga pendidikan seni atau pemerintah, pemasok, pembeli, pemilik balai lelang dan kolektor.
Pengembangan infrastruktur seni rupa Indonesia ini mungkin merupakan contoh terbaik dari model yang buruk tentang bagaimana produksi dan makna seni yang dinamis disalurkan ke dalam masyarakat dan kepada publik yang memiliki pengetahuan atau pemahaman yang sangat sedikit tentang seni kontemporer. Platform ini didasarkan pada mekanisme yang beroperasi di pasar seni lokal, yang kemudian berkembang ke sistem pasar global. Dalam perkembangan yang cepat ini, beberapa pertanyaan muncul: bagaimana hal ini mempengaruhi praktik-praktik seni kontemporer Indonesia dan dunia seni rupa Indonesia saat ini? Seberapa jauh perkembangan ini mendorong peningkatan infrastruktur seni rupa?
Pada tahun 1980-an, Galeri Cemeti (dikenal sebagai Rumah Seni Cemeti sejak tahun 1999) di Yogyakarta secara intensif dan ekstensif memperluas eksplorasi ke dalam ekspresi artistik yang baru. Memperjuangkan apa yang sulit diterima oleh ruang-ruang pameran lain--instalasi, gambar, karya multimedia, pertunjukan seni, video, dan karya-karya yang terikat pada situs tertentu, misalnya--Rumah Seni Cemeti kemudian berkembang, memperluas lingkaran pengaruhnya dan mengembangkan jaringan yang lebih luas, terutama dengan organisasi dan institusi seni dan budaya di Belanda.
Kemunculan ruang-ruang seni seperti Rumah Seni Cemeti menjadi bentuk respon tidak langsung dari para seniman terhadap kondisi pasar seni rupa mainstream khususnya boom terhadap lukisan pada pertengahan 1980-an--sebuah periode di mana, seperti yang digambarkan oleh kritikus seni rupa terkemuka Sanento Yuliman (1941-1992), terjadi “penurunan dan pengasingan (pemingitan)” nilai-nilai artistik, dan bahkan penolakan terhadap karya seni rupa yang berada di luar batas-batas formal dan atau akademis yang lazim.
Dikelola oleh pasangan Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo, Rumah Seni Cemeti mengubah wajah seni rupa Indonesia, membuatnya lebih mudah diakses dan menarik perhatian kurator dan organisasi seni asing. Rumah Seni Cemeti juga berperan besar dalam mengirimkan seniman-seniman muda Indonesia ke luar negeri melalui program pertukaran dan residensi seni, serta melakukan upaya-upaya penerjemahan dan penerbitan makalah penelitian, buku, dan katalog, serta mendokumentasikan karya-karya para seniman tersebut dan peristiwa penting lainnya dalam bahasa Inggris. Berbagai kegiatan Rumah Seni Cemeti telah menginspirasi generasi muda untuk melakukan hal serupa. Dalam konteks komunitas seni yang memiliki jaringan, ketertarikan pada seni, pengalaman artistik, dan/atau sudut pandang baru, sejumlah ruang seni alternatif lain telah didirikan, seperti MES 56 di Yogyakarta, ruangrupa di Jakarta, dan Common Room di Bandung.
Dalam konteks kemajuan teknologi dan kebebasan pasca reformasi, komunitas-komunitas kecil ini mengeksplorasi potensi budaya global dari media seni baru. Ade Darmawan, salah satu pendiri ruangrupa, menulis dalam pengantar katalog pameran Fixer: Pameran Ruang Alternatif & Kelompok Seni Rupa di Indonesia (2010):
Selama satu dekade setelah 1998 adalah masa euforia bagi gagasan keterbukaan dan beragam orientasi baru tentang bagaimana kehidupan sosial, budaya, dan politik seharusnya dijalankan. Di masa yang sama, para perupa dari generasi itu mulai mengeksplorasi dan memperluas pilihan ekspresi mereka dalam bentuk artistik yang lebih beragam, baik melalui fotografi, seni performans, proyek seni rupa, seni rupa publik, street art, seni rupa konseptual, seni video, maupun seni media baru.1
Semangat yang muncul dari ruang-ruang alternatif dan komunitas-komunitas yang mendukungnya tidak hanya membuka peluang bagi penciptaan karya seni yang berdasarkan konsep-konsep yang lebih global, kontekstual, dan bahkan melatih pemikiran yang lebih plural, tetapi juga memicu kesadaran bahwa seni dapat diperluas ke dalam arena-arena yang lebih besar.
Pada tahun 1990-an, forum-forum seni rupa kontemporer yang berakar pada konsep-konsep regional terbaru secara kontekstual menyoroti perkembangan seni rupa di luar Eropa dan Amerika Serikat, yang kemudian menarik perhatian kalangan seni rupa dunia pada perkembangan seni rupa di Asia, terutama di India, Cina, dan Asia Tenggara. Seni kontemporer Indonesia menjadi salah satu fokus, dengan masuknya para seniman Indonesia ke dalam pameran-pameran di museum dan ruang-ruang seni alternatif yang dikelola oleh museum, organisasi, dan pemerintah di Australia dan Jepang.
Perkembangan ekonomi dan dampaknya
Pada pertengahan tahun 1980-an, jumlah kolektor seni yang berniat mengumpulkan lukisan meningkat. Para kolektor ini bukan hanya individu, tetapi juga pengembang properti dan karyawan perusahaan negara dan swasta. Pejabat pemerintah juga mendorong rekan-rekan mereka untuk membeli lukisan, termasuk jika mereka secara resmi membuka satu dari sekian banyak pameran yang diselenggarakan di galeri swasta dan milik negara, di hotel berbintang, dan bahkan di gedung-gedung perkantoran. Profesi baru juga muncul - pemasok seni dan pembeli seni, misalnya - orang-orang yang menyediakan akses ke lukisan, terutama lukisan-lukisan dari para maestro modern Indonesia seperti S. Soedjojono, Affandi, dan Hendra Gunawan.
Perkembangan seni komersial pada tahun 1980-an ini mendorong beberapa kolektor dan seniman untuk mendirikan museum mereka sendiri, termasuk museum milik kolektor ternama Oei Hong Djien di Magelang, Museum Affandi dan Museum Hidayat di Yogyakarta, NuArt Sculpture Park and Gallery yang didirikan oleh Nyoman Nuarta, Museum Barli dan Museum Djeihan, serta Selasar Sunaryo Art Space di Bandung, dan juga beberapa museum di Bali. Ada yang berpendapat bahwa museum yang dikelola pemerintah telah mengalami stagnasi, dan bahwa institusi pendidikan tinggi, seperti Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta atau Institut Teknologi Bandung (ITB), lamban dalam mengantisipasi kebutuhan akan pengelola seni. Kolektor lain telah mendirikan ruang institusional, seperti Ciputra Art Museum; Art:1 New Museum, Museum dan Yayasan Yuz di Jakarta; Lawangwangi di Bandung, yang telah menerbitkan Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) sejak tahun 2011; Yayasan Seni Langgeng di Yogyakarta; dan House of Sampoerna di Surabaya.
Kemunculan museum-museum swasta di tahun 1980-an dapat dianggap sebagai reaksi terhadap pengelolaan dan pengembangan infrastruktur seni rupa negara yang amatir. Kebutuhan untuk menghasilkan tenaga ahli di bidang manajemen seni telah dipenuhi oleh Kelola, sebuah yayasan yang sejak tahun 1999 hingga 2010 bekerja sama dengan organisasi pendanaan budaya asing seperti Asialink di Australia dan Asian Cultural Council (ACC) di Amerika Serikat untuk menyeleksi kandidat dan mengirimkan mereka pada program residensi. Sejumlah lulusan universitas di Indonesia juga telah melanjutkan studi mereka di bidang ilmu museum dan manajemen seni di luar negeri, karena sistem museum di Indonesia tidak mengakomodasi upaya pendidikan semacam ini.
Dengan semua faktor di atas, perkembangan pasar seni rupa Indonesia cenderung mengarah ke arah yang bermasalah, dengan berbagai risiko melekat yang mempengaruhi praktik penciptaan karya seni rupa di Indonesia. Generasi kolektor yang lebih muda semakin terinformasi dengan baik, dan memiliki pemahaman tentang apresiasi seni, modal, dan kesadaran global yang luas. Kritikus seni Agus Dermawan T. telah mengamati bahwa para kolektor masa kini tidak hanya mampu secara finansial untuk membeli karya seni, tetapi juga menganggap terjun mereka ke dalam atmosfer kreatif dunia seni rupa sebagai sesuatu yang menyenangkan, dimana beberapa di antaranya melangkah jauh ke depan dibandingkan dengan yang lain.2
Di era pasar global ini, para kolektor dan pedagang seni meraup keuntungan finansial yang sangat besar dengan menjual koleksi mereka di pasar sekunder, kemudian membuka galeri dengan tujuan memikat para seniman muda. Sejumlah besar karya seniman muda ini, termasuk karya fotografi, video, dan multimedia yang menggunakan teknologi terbaru, dibuat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pasar global. Para kolektor dan pedagang seni juga lincah dalam melibatkan kurator dan penulis untuk memulai wacana; dengan kata lain, para kurator dan kritikus ini terkadang digunakan untuk melegitimasi posisi seniman sebagai subordinat dari pasar seni. Baru-baru ini, beberapa kolektor bahkan mulai mengambil peran untuk melegitimasi karya-karya, menawarkan jasa mereka sebagai 'manajer' dan 'penemu', atau bahkan 'pelopor', untuk sejumlah seniman.
Pengaruh pasar internasional telah masuk ke ranah seni rupa kontemporer Indonesia melalui berbagai pameran seni rupa Asia dan pendekatan yang dilakukan oleh para pedagang dan galeri seni Eropa dan Amerika. Seniman-seniman papan atas seperti I Nyoman Masriadi, Eko Nugroho, Agus Suwage, Handiwirman Saputra, FX Harsono, Entang Wiharso, dan seniman-seniman yang lebih muda seperti Wedhar Riyadi dan J. Ariadhitya Pramuhendra, kini diwakili oleh ARNDT dan Galerie Michael Janssen di Berlin, Primo Marella Gallery di Milan, Galerie Perrotin di Paris, Tyler Rollins Fine Art, dan Lombard Freid Projects di New York. Pameran lainnya diadakan di Taiwan dan Korea Selatan. Pameran tingkat tinggi juga terus meningkat, dengan seni kontemporer Indonesia yang dipamerkan di Espace Culturel Louis Vuitton di Paris dan Saatchi Gallery di London tahun 2011, di Kunstraum Engländerbau di Liechtenstein tahun 2012, dan yang terbaru adalah di Guggenheim Museum, New York, yang meluncurkan pameran seni kontemporer Asia Tenggara pada awal tahun 2013.3
Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah komunitas seniman dan kurator telah mengambil inisiatif untuk meniadakan keterlibatan galeri. Pendekatan pameran seni rupa ini, seperti yang dapat disaksikan di Art Fair Jogja (ART|JOG), yang diselenggarakan setiap tahun di Yogyakarta sejak 2009, memungkinkan para seniman untuk mempresentasikan karya-karya mereka secara langsung kepada publik. Ruang-ruang seni alternatif, seperti PLATFORM3 di Bandung, yang dibentuk oleh para seniman dan kurator muda pada tahun 2009, telah muncul untuk mengedepankan diskusi dan mengembangkan konsep-konsep artistik. Pendirian Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta juga telah memberikan kontribusi dengan menyediakan informasi secara global tentang berbagai diskusi seni dan seniman di Indonesia. Pada tahun 2012, Restu Imansari dan Carla Bianpoen bekerja untuk membuka akses bagi Indonesia untuk menampilkan paviliun di Venice Biennale ke-55 (2013), dengan pendanaan dari pemerintah Indonesia.
Dalam konteks seni rupa kontemporer, terdapat kemungkinan perluasan wacana seni rupa dengan mempertimbangkan unsur kriya. Dalam wacana seni rupa yang ada di Indonesia, batas antara seni dan kriya tidak ditegakkan secara tegas, sehingga ada potensi untuk melibatkan keduanya dalam wilayah seni rupa kontemporer. Seniman Eko Nugroho memasukkan batik dan tekstil lain dalam karyanya, menggunakan elemen-elemen ini tidak hanya sebagai media, tetapi juga sebagai narasi yang mengekspresikan esensi pembuatan sebuah karya seni dalam praktik seni rupa kontemporer. Hal ini sering kali melibatkan proses komunal di mana ia mengundang para perajin terampil untuk berpartisipasi.
Pada tahun 2009, saya dan kurator Asmudjo J. Irianto mengembangkan Jakarta Contemporary Ceramics Biennale (JCCB). Tahun ini merupakan penyelenggaraan kedua dari pameran berskala internasional ini. Asmudjo berkomentar bahwa, tidak seperti negara-negara Asia Timur lainnya, Indonesia tidak memiliki tradisi keramik yang canggih, dan karena itu tingkat teknologi dan apresiasi masyarakat terhadap keramik masih rendah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perkembangan seni keramik di Indonesia masih jauh dari pesat. Namun, hal ini bisa jadi merupakan berkah, karena dengan tidak adanya batasan wilayah untuk keramik, maka tidak ada konfrontasi diametral dengan seni rupa kontemporer, yang memudahkan para keramikus untuk menjadi bagian dari komunitas seni rupa kontemporer.4
Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan lama yang muncul dari dunia seni rupa Indonesia tetap terus memancing dan mendorong diskusi. Seberapa berkelanjutan model pengembangan seni rupa di Indonesia untuk terus mendorong perubahan signifikan serta mendorong produksi dan wacana artistik? Kapan kebijakan institusi negara tentang seni dan budaya akan berubah sehingga memungkinkan adanya sistem yang mendorong inisiatif dan memfasilitasi komunitas seni kontemporer di Indonesia untuk menemukan suaranya di tengah publik global?
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Margaret Agusta.
Semua karya seni yang mengilustrasikan halaman ARTAND ditampilkan dalam konteks artikel aslinya. Gambar tidak boleh diambil atau diterbitkan ulang tanpa seizin para seniman atau pemegang hak cipta. Untuk informasi lebih lanjut tentang karya seni terlampir, silakan hubungi seniman terkait.
Biografi Rifky berikut terlampir di halaman depan majalah edisi ini:
Rifky Effendy adalah kurator Indonesia Pavilion dalam Venice Biennale yang ke-55 (2013). Pada tahun 2009, ia turut mendirikan Jakarta Contemporary Ceramics Biennale. Bersama para kurator dan seniman, Rifky mendirikan ruang karya PLATFORM3 di Bandung pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 di Jakarta mendirikan Inkubatorasia, sebuah ruang yang didedikasikan untuk mempromosikan seniman-seniman kontemporer baru.
1. Ade Darmawan, ‘Memperbaiki mata rantai siklus gagasan’, Fixer: Pameran Ruang Alternatif & Kelompok Seni Rupa di Indonesia, katalog pameran, North Art Space, Jaya Ancol, Jakarta, 2010, p. 6.
2. Agus Dermawan T., 'Meniti selera di medan booming', Visual Arts Magazine, no. 23, 2008, Jakarta, pp. 26-8.
3. Pameran tersebut adalah 'Trans-Figurations: Indonesian Mythologies' (2011) di Espace Culturel Louis Vuitton, Paris; Indonesian Eye: Fantasies and Realities (2011) di Saatchi Gallery, London; contemporary Indonesian art di Kunstraum Engländerbau di Liechtenstein pada 2012; dan 'No Country: Contemporary Art for South and South-East Asia' (2013) di Guggenheim Museum, New York.
4. Asmudjo J. Irianto dalam pengantar kuratorial 1st Jakarta Contemporary Ceramics Biennale terbitan North Art Space, Jaya Ancol, Jakarta, 2009; lihat https://jakartacontemporaryceramic.wordpress.com/jccb1-2009-2010/text/asmudjo-j-irianto
Image Captions
p. 125: J. Ariadhitya Pramuhendra, Di balik Alkitab dan gunting, 2013, Arang di atas kanvas, 200 x 150 cm, Atas seizin seniman dan ARNDT, Berlin.
p. 125: FX Harsono, Writing in the rain, 2011, Video stills, video satu kanal, edisi 5, durasi 6 menit 2 detik, Atas izin Tyler Rollins Fine Art, New York.
p. 125: Entang Wiharso, Meja makan: Persepsi yang tidak dinyatakan, 2012, Aluminium cor, kuningan cor, karpet Persia, 200 x 400 x 300 cm, Atas izin seniman dan ARNDT, Berlin.
p. 126: Agus Suwage, Waiting for Godot, 2013, Minyak dan akrilik di atas kanvas, 250 x 200 cm, Atas izin seniman dan ARNDT, Berlin.
p. 127: Wedhar Riyadi, Orang asing #9, 2013, Cat minyak di atas kanvas, 200 x 130 cm, Hak cipta atas foto milik Ark Galerie, Jakarta dan ARNDT, Berlin.
Problematics of the Indonesian art scene
The second art-market boom in Indonesia in 2007-09 awoke art practitioners to the functions of the prevailing art systems. Initially linked solely to the artist’s creative process, the field of art production became more complex with the inclusion of art-scene supporters: the mass media, the journalists and art writers, galleries, museums, curators and managers, exhibition organisers, policymakers, art education institutions or the government, suppliers, buyers, auction house owners, and collectors.
This development of an Indonesian art infrastructure may be the best example of a bad model for how the dynamic production and meaning of art is channelled into society and to a public that has very little knowledge or understanding of contemporary art. The platform is based on the mechanisms operating in the local art market, spanning out from there towards the global-market system. Within this steep ascendancy, certain questions arise: How does this influence the practices in Indonesian contemporary art and the current art scene in Indonesia? How much does this development motivate improvement in art infrastructure?
In the 1980s, Cemeti Gallery (known as Rumah Seni Cemeti or Cemeti Art House since 1999) in Yogyakarta intensively and extensively expanded exploration into new artistic expression. Championing what other exhibition spaces found hard to accept—installations, drawings, multimedia pieces, art performances, videos and site-specific pieces, for example—Rumah Seni Cemeti then grew, broadening its circle of influence and developing far-reaching networks, in particular with art and cultural organisations and institutions in Holland.
The emergence of art spaces like Rumah Seni Cemeti became a kind of indirect response by artists to conditions of the mainstream art market, particularly the boom in paintings in the mid-1980s—a period in which, as described by noted art critic Sanento Yuliman (1941-1992), there existed ‘diminishment and exile’ of artistic values, and even the rejection of any kind of artwork falling outside the usual formal and/or academic boundaries.
Managed by the couple Mella Jaarsma and Nindityo Adipurnomo, Rumah Seni Cemeti transformed the face of Indonesian art, making it more accessible and attracting the attention of foreign curators and art organisations. It also played a major role in sending young Indonesian artists abroad through exchange programs and art residencies, and efforts were made to translate and publish research papers, books and catalogues, and to document the works of these artists and other important events in English. Rumah Seni Cemeti’s various activities inspired the younger generation to do similar things. Within the context of art communities with networks, intense interest in art, artistic experience, and/or new points of view, a number of other alternative art spaces have been established, such as MES 56 in Yogyakarta, ruangrupa in Jakarta, and Common Room in Bandung.
In the context of the technological advances and with the freedom of the post-reformation era, these small communities are exploring the global cultural potential of new art media. Ade Darmawan, one of the founders of ruangrupa, wrote in the catalogue introduction to the exhibition ‘Fixer: Exhibition of Alternative Spaces & Art Groups in Indonesia’ (2010):
the past decade since 1998 has been a euphoric period of conceptual openness and various new orientations about how social interactions, culture and politics should be managed and directed. In the same period, the generation of artists at the time began exploring and expanding their choices of expression into more varied artistic formats, whether photography, performance art, visual art projects, public art, street art, conceptual art, video art, or art done in any new media.1
The spirit emanating from the alternative spaces and the communities that supported them not only generated opportunities for the creation of artworks based on more global, contextual concepts, and even for the exercising of pluralistic thinking, but also triggered an awareness of how art can be expanded into larger arenas.
In the 1990s contemporary-art forums rooted in the latest regional concepts contextually spotlighted art developments outside Europe and the United States, drawing the attention of world art circles to developments in Asia, especially in India, China and South-East Asia. Indonesian contemporary art became one such focus, with the entry of its artists into exhibitions at museums and alternative art spaces managed by museums, organisations and governments in Australia and Japan.
Economic development and its impact
In the mid-1980s, the number of art collectors intent on accumulating paintings increased. These collectors were not just individuals, but also property developers and state and private-sector company employees. Government officials would also encourage their colleagues to buy paintings, including if they happened to be officially opening one of the many exhibitions being held at private and state-owned galleries, at star-rated hotels and even in office buildings. New professions also emerged—the art supplier and art buyer, for example—people who provided access to paintings, especially those of the modern Indonesian masters such as S. Soedjojono, Affandi, and Hendra Gunawan.
These commercial art developments of the 1980s led a handful of collectors and artists to set up their own museums, including noted collector Oei Hong Djien’s museum in Magelang, the Affandi Museum and the Hidayat Museum in Yogyakarta, the NuArt Sculpture Park and Gallery established by Nyoman Nuarta, the Barli Museum and the Djeihan Museum, as well as the Selasar Sunaryo Art Space in Bandung, not to mention a number of museums in Bali. It was argued that government-managed museums had stagnated, and that institutions of higher learning, like the Indonesian Art Institute (ISI) in Yogyakarta or the Institute of Technology, Bandung (ITB), were slow to anticipate the need for art managers. Other collectors have established institutional spaces, such as the Ciputra Art Museum; Art:1 New Museum, Art Space and Institute at Mondecor Gallery; the Yuz Museum and Foundation in Jakarta; Lawangwangi in Bandung, which has been issuing the Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) since 2011; Langgeng Art Foundation in Yogyakarta; and the House of Sampoerna in Surabaya.
The emergence of private museums in the 1980s could be perceived as a reaction to the amateurish management and development of state art infrastructure. The need to produce experts in art management has since been met by Kelola, a foundation that from 1999 to 2010 cooperated with foreign cultural funding organisations such as Asialink in Australia and Asian Cultural Council (ACC) in the United States to screen candidates and send them on residential programs. A number of Indonesian university graduates have also continued their studies in museum science and art management abroad, as the Indonesian museum system does not accommodate this kind of educational endeavour.
With all the above factors at play, developments in the Indonesian art market tend towards the problematic, with various inherent risks influencing the practice of creating art in Indonesia. The younger generation of collectors is increasingly well informed, and possesses an understanding of art appreciation, capital, and a wide global awareness. Art critic Agus Dermawan T. has observed that today’s collectors are not only financially capable of purchasing art, but also experience their plunge into the creative atmosphere of the art world as exhilarating, with some leaping forward far ahead of the others.2
In this global-market era, collectors and art dealers are raking in huge financial benefits by selling their collections on the secondary market, then opening galleries with the intention of luring in emerging artists. A large number of works by these young artists, including photographic, video and multimedia pieces using the latest technology, are being created solely to fulfil global market needs. Collectors and art dealers are quick to also involve curators and writers to initiate discourses; in other words, these curators and critics are sometimes used to legitimise the position of artists as subordinate to the art market. Recently, some collectors have even begun taking on the role of legitimating works, offering their services as ‘managers’ and ‘discoverers’, or even ‘launchers’, for any number of artists.
International market influence has entered into the realm of Indonesian contemporary art through various Asian art fairs and approaches made by European and American art dealers and galleries. Blue-chip artists such as I Nyoman Masriadi, Eko Nugroho, Agus Suwage, Handiwirman Saputra, FX Harsono, Entang Wiharso, and younger artists such as Wedhar Riyadi and J. Ariadhitya Pramuhendra, are now represented by ARNDT and Galerie Michael Janssen of Berlin, Primo Marella Gallery of Milan, Galerie Perrotin of Paris, Tyler Rollins Fine Art and Lombard Freid Projects of New York. Others show in Taiwan and South Korea. High-profile exhibitions are similarly on the rise, with Indonesian contemporary art on show at Espace Culturel Louis Vuitton in Paris and at Saatchi Gallery in London in 2011, at the Kunstraum Engländerbau in Liechtenstein in 2012, and most recently at the Guggenheim Museum, New York, which launched a South-East Asian contemporary art exhibition at the beginning of 2013.3
In Indonesia in recent years, a number of artist communities and curators have taken initiatives to eliminate the involvement of galleries. This art-fair approach, as witnessed at Art Fair Jogja (ART|JOG), held annually in Yogyakarta since 2009, enables artists to present their works direct to the public. Alternative art spaces, such as PLATFORM3 in Bandung, formed by young artists and curators in 2009, have emerged to prioritise discussion and develop artistic concepts. The establishment of the Indonesian Visual Art Archive (IVAA) in Yogyakarta has also contributed by providing information globally about the various art discourses and artists in Indonesia. In 2012, Restu Imansari and Carla Bianpoen worked to reopen access for Indonesia to present a pavilion at the 55th Venice Biennale (2013), with the Indonesian government providing funding.
Within the context of contemporary art, there is the possibility of expanding the art discourse through considering the elements of craft. In the existing art discourse in Indonesia, the boundary between art and craft is not arbitrarily enforced, so that there is the potential to involve both within the territory of contemporary art. Artist Eko Nugroho includes batik and other textiles in his works, using these elements not only as media, but as narrative, expressing the essence of producing a work of art within the practice of contemporary art. This often involves a communal process in which he invites skilled craftspeople or artisans to participate.
In 2009, curator Asmudjo J. Irianto and I developed the Jakarta Contemporary Ceramics Biennale (JCCB). This year is the second presentation of this international-scale exhibition. Asmudjo has commented that, unlike other East Asian countries, Indonesia does not have a sophisticated ceramic tradition, and for that reason levels of technology and public appreciation for ceramics remain low. It is therefore not surprising that the development of ceramic art in Indonesia has been far from rapid. However, that may be a blessing since, if there is no set territory for ceramics, there is no diametric confrontation with contemporary art, making it easy for ceramicists to become a part of the contemporary-art community.4
In the end, the same old questions emerging from the Indonesian art scene remain to persistently provoke and prod. How sustainable is the model for the development of art in Indonesia towards continually motivating significant change and pushing forward artistic production and discourse? When will state-institution policies on art and culture change to allow for a system that encourages initiatives and facilitates the contemporary art community in Indonesia in finding a voice among the global public?
Translated into English by Margaret Agusta.
All artwork illustrating the pages of ARTAND are provided in context of the original article. Images should not be extracted or republished without prior permissions from the artists or rights holders. For more information about the artwork, please contact the artists.
The following biography was provided for Rifky in the frontmatter for this issue: 'Rifky Effendy is Curator of the 55th Venice Biennale (2013) Indonesian Pavilion. In 2009 he co-founded the Jakarta Contemporary Ceramics Biennale. Along with fellow curators and artists, Rifky established the Bandung-based art space PLATFORM3 in 2009, and in 2010 formed Inkubatorasia, a Jakarta-based space dedicated to promoting emerging contemporary artists.'
1. Ade Darmawan, 'Fixing the chain of the cycle of ideas', Fixer: Exhibition of Alternative Spaces & Art Groups in Indonesia, exhibition catalogue, North Art Space, Jaya Ancol, Jakarta, 2010, p. 14.
2. Agus Dermawan T., 'Meniti selera di medan booming', Visual Arts Magazine, no. 23, 2008, Jakarta, pp. 26-8.
3. These exhibitions were 'Trans-Figurations: Indonesian Mythologies' (2011) at Espace Culturel Louis Vuitton, Paris; Indonesian Eye: Fantasies and Realities' (2011) at Saatchi Gallery, London; contemporary Indonesian art at the Kunstraum Engländerbau in Liechtenstein in 2012; and 'No Country: Contemporary Art for South and South-East Asia' (2013) at the Guggenheim Museum, New York.
4. Asmudjo J. Irianto in the curatorial introduction to the 1st Jakarta Contemporary Ceramics Biennale, published by North Art Space, Jaya Ancol, Jakarta, 2009; see https://jakartacontemporaryceramic.wordpress.com/jccb1-2009-2010/text/asmudjo-j-irianto
Image Captions
p. 125: J. Ariadhitya Pramuhendra, Behind the Bible and scissor, 2013, Charcoal on canvas, 200 x 150cm, Courtesy the artist and ARNDT, Berlin.
p. 125: FX Harsono, Writing in the rain, 2011, Video stills, single-channel video, edition of 5, 6 mins 2 secs duration, Courtesy Tyler Rollins Fine Art, New York.
p. 125: Entang Wiharso, Feast table: Undeclared perceptions, 2012, Cast aluminum, cast brass, Persian carpet, 200 x 400 x 300 cm, Courtesy the artist and ARNDT, Berlin.
p. 126: Agus Suwage, Waiting for Godot, 2013, Oil and acrylic on canvas, 250 x 200 cm, Courtesy the artist and ARNDT, Berlin.
p. 127: Wedhar Riyadi, The stranger #9, 2013, Oil on canvas, 200 x 130 cm, Image courtesy Ark Galerie, Jakarta, and ARNDT, Berlin.
Apakah Seni Rupa Kontemporer Indonesia Dalam Bahaya Atau Membuat Perubahan? : Rifky Effendy
Is Indonesian Contemporary Art In Danger Or Making A Difference? : Rifky Effendy
Rifky Effendy. “Apakah Seni Rupa Kontemporer Indonesia Dalam Bahaya Atau Membuat Perubahan?.” Art and Australia.com https://artandaustralia.com/A__A/pp256/apakah-seni-rupa-kontemporer-indonesia-dalam-bahaya-atau-membuat-perubahan