Seni lukis dan painting Sanento Yuliman

| Zico Albaiquni
From West to East, From North to South Zico Albaiquni, 2024. agian dua dari "lukisan” sebagai praksis.

Seni lukis dan painting Sanento Yuliman

Seni Lukis Dan Painting Sanento Yuliman | Zico Albaiquni

Ketika saya mulai memahami istilah 'seni lukis', secara otomatis hal ini membentuk sebuah gambaran yang jelas dan hidup dalam ingatan saya, hal ini bertautan dengan sejarah lokal, budaya dan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga saya pun berusaha untuk menilik kembali istilah dalam bahasa Inggris 'painting' yang telah membentuk cara saya dalam merasakan dan menginterpretasi konteks-konteks yang tak bisa dipisahkan dengan rangkaian sejarah seni rupa kontemporer. Dalam riset ini saya memposisikan 'seni lukis' dalam tradisinya yang justru tak terlepas dari unsur lakunya dalam tradisi dibandingkan sekedar sebuah bentuk fisiknya yang hadir dalam istilah lukis itu sendiri.

Menarik pemikiran dari esai Sanento Yuliman tahun 1983 yang berjudul 'Tradisi Lukis: Lukis dalam Pengertian Sediakala',1 saya berpendapat bahwa di sana terletak sebuah pengertian lukis sebagai sebuah tingkah laku. Seni lukis yang Sanento dideskripsikan sebagai sebuah praksis, yang menekankan pada tindakan, sebuah aksi, keahlian, keterampilan, dan secara spesifik mengenai cara dalam menciptakan suatu hal. Sementara term dalam bahasa Inggris 'paint' membawa konotasi bahwa lukis adalah sebuah unsur objek, padahal pengertian 'lukis' dalam perkembangan budaya di Indonesia dalam sediakalanya tidak seperti itu.

Riset saya akhirnya menuju pada pengaktivasian materialitas sebagai sebuah pengalaman dalam memproduksi pengetahuan. Sehingga ada penekanan ketika saya melukis, saya melakukan performance/laku seni lukis itu sendiri dalam menghadirkan keterlibatan saya dalam naratif.

Pada era Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), bahasa Melayu Pramodern merupakan bahasa yang diadaptasi dan digunakan dalam pasar, sebuah bahasa keseharian yang digunakan untuk tujuan berniaga di Indonesia (Melayu Pasar). Hal ini berlanjut hingga masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda. Pada kala itu, bahasa Melayu Pramodern pun digunakan sebagai alat untuk mengendalikan penyebaran pemikiran liberal Eropa dan juga nilai yang terbangun kepada para jajahannya. Namun hal ini juga menciptakan paradoks, melahirkan rasa kebersamaan, hingga menciptakan identitas bersama di antara kaum muda nasionalis yang kelak pada 28 Oktober 1928, mendeklarasikan Sumpah Pemuda:

 + Teks Sumpah Pemuda dari tahun 1928  Sumber: Wikimedia Commons. Dilisensikan di bawah CC BY 4.0 DEED Attribution 4.0 International.

PERTAMA.

KAMI PUTERA DAN PUTRI INDONESIA,
MENGAKU BERTUMPAH DARAH YANG SATU,
TANAH INDONESIA.

KEDUA.

KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA,
MENGAKU BERBANGSA YANG SATU,
BANGSA INDONESIA.

KETIGA.

KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA,
MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN,
BAHASA INDONESIA.

Satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Bahasa menjadi daya yang mendorong dalam menciptakan persatuan dan memfasilitasi komunikasi ide-ide yang baru kepada publik dalam skala yang lebih luas, layaknya kala bahasa itu menjadi bahasa pasar yang digunakan dalam proses perniagaan.

Sanento Yuliman mengjukstaposisikan 'painting' dalam framework lukis yang berasal dari kata 'anglukis' dari bahasa Kawi.2 Istilah 'seni lukis' dalam bahasa Indonesia juga mengarahkan saya dalam memposisikan praktik tersebut dalam kerangka tradisi performatif yang menekankan pada pola laku dibandingkan pada nilai keobjekannya. Hal ini memberikan saya antusiasme dalam melibatkan diri dalam sebuah naratif, mengaktivasi materialitas sebagai sebuah bagian dari proses pengalaman guna memproduksi pengetahuan.               

Lalu ada hal yang juga saya cermati pula karena dalam pengalaman bermasyarakat di Indonesia, terkadang tidak jarang istilah lukis dan gambar digunakan secara bergantian. Dalam esai 'Peristilahan Gambar', Sanento Yuliman menjelaskan lebih jauh mengenai gambar itu sendiri.3   Di sana dijelaskan bahwa peristilahan gambar memiliki pengertian yang luas. Penggunaannya pun digunakan dalam menjelaskan film, foto, reproduksi foto di majalah, peta, denah, grafik, lukisan, dan sebagainya. Bahkan dalam sastra lampau, patung pun disebut sebagai gambar.4 Hal ini pun mencakup pada 'gambar dalam gambar-angan-angan' yang kini disingkat penggunaannya menjadi 'angan-angan'. Namun, kala gambar ditekankan pada keobjekannya, maka objek itu akan berada dan terwujud pada sebuah luasan atau bidang, yaitu pada permukaan sebuah benda penyangga. Penyangga ini bisa berupa papan, kertas, kain, dinding rumah, dinding barang, atau benda lainnya. Hal ini disebut sebagai gambar semua hasil karya rupa yang berwujud obyek.

Tentunya hal pertama yang dapat diamati dari 'seni lukis' adalah keobjekannya. Namun 'seni lukis' tidak berdiri sebagai perspektif representasional kebendaan semata, namun justru pada praksisnya.  Dalam Tantu Panggelaran, dijelaskan bahwa keterampilan 'lukis' ini tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan bahwa keterampilan ini diturunkan dari dewa-dewi. Keahlian tersebut diturunkan dari dewa-dewi. Para pelukis dipanggil empu (ibu jari) karena itulah nama yang diberikan ke pelukis pertama, Empu Ciptaangkara, dan karena mereka menggunakan ibu jari ketika menggenggam alat lukis.

Hal ini menaikkan derajat melukis karena keterampilan 'lukis' diajarkan oleh dewa-dewi ke manusia. Kaidah kepercayaan dan spiritual merupakan salah satu unsur penting dalam awal pengertian praktik ini.

Gelar ‘Empu’ memberikan penekanan pada ibu jari dan menjelaskan pentingnya menilik hubungan antara keterampilan, praktik, dan tindakan. Hal ini menunjukkan penekanan Tantu Panggelaran  pada praksis spiritual; karena tidak berpijak pada keobjekannya, 'lukis' dapat hadir dalam bentuk yang bermacam-macam. 'Lukis' dari naratif Empu Ciptaangkara bisa dalam bentuk ukiran, pahatan, patung, kain, hingga dinding benda seperti gelas.   

'Lukis' tidak bisa dipisahkan dari laku mengubah ketiadaan menjadi cipta, yang mendorong angan-angan dan gagasan. Saya meyakini bahwa tradisi seni di Indonesia menempatkan penekanan yang patut diperhatikan pada praksis. Selain itu, pengamatan ini sejalan dengan bagaimana bentuk-bentuk seni lain di Indonesia cenderung selalu memiliki dimensi praksis yang kental.

Pemahaman saya tentang 'seni lukis' mengambil perspektif lebih luas yang mengakui keluwesan dan keberagaman manifestasinya, menantang paradigma kolonial. Istilah barat ini sendiri, memang sebuah kata yang saya perhatikan dalam diskursus seni kontemporer di Indonesia. Salah satu pemantik perdebatan ini adalah tulisan Sudjojono pada tahun 1948 berjudul 'Kami Tahu Mau Dibawa ke Mana Seni Lukis Indonesia akan Kami Bawa'. Dalam pembukanya dituliskan bahwa:

Kita bangsa Indonesia mengakui bahwa corak seni lukis di sini bercorak barat sekarang. Tetapi untuk dikatakan bahwa ini bukan seni lukis Indonesia ini tidak benar. Nomor satu sebab kira, sebelum Raden Saleh sudah lama punya seni lukis meskipun coraknya tidak sebagai kira sekarang melukis. (Berani oleh penulis ini)5

Saya mengidentifikasi ini sebagai sebuah titik balik dalam sejarah seni lukis di Indonesia. Saya menerapkan penggunaan 'seni lukis' Sudjojono sebagai falsafah dalam upaya saya menjelajah makna “painting” lebih jauh dari yang saya pelajari dalam pendidikan tinggi seni rupa. Saya menyadari posisi ini dan menempatkan karya saya dan peran saya sebagai seorang seniman untuk masuk dan memperkaya khazanah.

Pada tahap awal penyelidikan ini, saya mempelajari berbagai arsip, teks, dan gambar bersejarah dari era kolonial. Berdasarkan wawasan yang diperoleh selama tahap awal ini, saya berusaha untuk menggabungkannya ke dalam serangkaian lukisan saya dan instalasi dalam pameran seni rupa.

Dari Ruang Netral ke Lingkungan Bersama

Saya menyelidiki bagaimana kesamaan waktu dalam sejarah menentukan masa kini. Saya tertarik dengan bagaimana pemahaman kita mengenai kontemporeritas memengaruhi pemahaman dan pengalaman kita tentang waktu dan sejarah.

Khususnya, saya percaya media dan teknologi informasi memainkan peran penting dalam mewujudkan dan merepresentasikan kontemporeritas. Sebagai hasilnya, saya mulai mencari gambar-gambar, rekaman, dan bahkan dokumentasi pribadi terkait ruang-ruang ini. Berkas-berkas ini mendidik saya tentang esensi, emosi, dan dasar pemikiran seni lukis Barat dan seni visual dalam kerangka institusional mereka.

Ruang-ruang seperti museum merupakan bagian integral dalam pemahaman saya dalam esai ini. Perjalanan saya dapat ditelusuri kembali ke pertemuan awal saya dengan pameran kolonial. Melalui pengalaman tersebut, saya berpendapat bahwa ruang pameran tidak dapat dilepaskan dari bagaimana masyarakat adat dalam sejarah Indonesia digambarkan dalam sejarah kolonial Indonesia. Kecenderungannya adalah memosisikan masyarakat adat sebagai 'yang lain', yang memaksakan penempatan diri mereka dalam pandangan dunia yang ada. Perspektif ini sering kali menghasilkan pandangan masyarakat yang mengkhawatirkan dan terbatas dibandingkan memahami bagaimana budaya-budaya ini seharusnya berkembang. Hal ini terutama terlihat dalam cara budaya-budaya ini dipentaskan dan dibandingkan dengan asumsi kecanggihan yang lebih maju di negara asalnya.

 + From West to East, From North to South Zico Albaiquni, 2024. Bagian satu dari “lukisan” sebagai praksis.

 + Zico Albaiquni dalam studio , 2024. Foto: Kartika Larasati.

Dalam praktik artistik saya, saya bereksperimen dengan gagasan interaksi budaya dalam ranah seni. Hal ini saya lakukan dengan mengubah ruang pameran menjadi gambar dan menafsirkannya kembali untuk menciptakan lingkungan dengan permukaan berlapis-lapis. Permukaan ini membahas isu-isu seperti globalisasi, kemajuan pesat teknologi yang cepat, transformasi politik dan sosial, serta fragmentasi narasi sejarah. Dalam proses mengubah ruang menjadi gambar, saya menciptakan celah yang akhirnya mengubah pemahaman objek nyata dalam ruang fisik. Proses ini terjadi ketika saya mengarahkan pemirsa ke ruang interpretasi mental menggunakan ruang pameran saya sebagai titik fokus.

Melalui eksplorasi ini, saya menyadari bahwa ruang pameran, yang secara tradisional dianggap netral dan universal, sebenarnya memiliki kerangka kerja kontekstual dan institusional tertentu yang menjauhkannya dari gagasan netralitas. Sebaliknya, ruang pameran bisa menjadi ruang bersama; contohnya, teras depan atau ruang tamu, ruang yang secara sadar berubah. Seni adalah ruang antara yang memiliki sekat-sekat namun tidak tertutup. Ruang pameran sebagai bagian dari peninggalan kolonial tidak dimaksudkan untuk dihilangkan karena luka, trauma, dan warisan ternoda yang dibawanya. Sebaliknya, seni lukis saya mengakui fragmen sejarah, manusia, roh, dan membawa esensi dari warisan mereka yang telah berinteraksi sebelum kita.

Proses pembersihan niat ini disebut ruatan/ruwatan dalam budaya Sunda. Hal ini terus saya upayakan untuk dipelajari agar menumbuhkan empati dan mengolah emosi, yang membantu saya menghasilkan manfaat spiritual dalam menciptakan lukis. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan pemahaman yang melampaui dialektik yang salah dan tidak produktif antara menggambarkan ruang museum sebagai neo-kolonial atau menghindari penggunaan ruang tersebut sebagai tindakan dekolonial.

Warna sebagai Metode 

 + Foto: Zico Albaiquini, 2021. Villa Isola bangunan yang terletak di Bandung ini dirancang oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker, seorang arsitek asal Belanda.
 + Rumah dengan warna “hijau kemiskinan” Foto: Zico Albaiquni, 2023. Rumah ini terletak di Cigorowong, Ciamis.

Dari pemeriksaan konsep linguistik, faktor lain yang saya gunakan sebagai metode dalam karya lukis saya adalah transformasi warna ketika ditampilkan sebagai di atas lukisan (painting). Warna merupakan sebuah narasi tersendiri yang memiliki arti penting sebagai penanda sejarah, penanda perdagangan, indikator kemajuan teknologi, cerminan preferensi kelas ekonomi, serta simbol status sosial dan selera. Ketika diaktifkan, warna memiliki potensi untuk mengganggu, memikat, dan membuka jalan wacana. Melalui pemanfaatan warna, saya berusaha membangkitkan rasa keterasingan dalam lukisan saya. Seperti misalnya, dengan menggabungkan gambar dari sejarah seni rupa Barat dan mengilhami mereka dengan warna yang diasosiasikan dengan hal yang tropis, kampungan, dan kelas bawah.

Sepanjang kreasi karya lukis saya, pigmen warna memegang peranan penting dalam interaksi  saya dan pemirsa. Penggunaan warna saya berasal dari studi saya tentang komposisi teori warna, dan saya lebih jauh mengeksplorasi potensinya dengan menggabungkan prinsip ythagoras untuk menciptakan rasa harmoni. Saya memilih Pythagoras sebagai titik awal karena keselarasannya dengan filosofi “silih asah, silih asih, silih asuh” dari budaya Sunda ke dalam formulasi artistik yang memiliki tujuan pragmatis. Proses perumusan ini semata-mata digunakan untuk menentukan komposisi nilai warna.

Warna yang saya gunakan terinspirasi dari warna-warna yang ditemukan di desa-desa Jawa Barat. Warna-warna ini sering diejek dan dianggap sebagai warna kampungan; mereka dianggap vulgar atau tidak berbudaya jika dibandingkan dengan warna-warna yang diasosiasikan dengan budaya Jawa, terutama warna alami dan pekat yang ditemukan di istana-istana Jawa atau warna rumah peninggalan Belanda di Bandung dengan gaya art deco. Awalnya diasosiasikan dengan perbedaan kelas, warna-warna kampungan ini bahkan diasosiasikan dengan kemiskinan, menjadi kebalikan dari warna putih yang elegan dan bergengsi yang mendominasi bangunan-bangunan kolonial di kota ini.

Dengan mengubah warna-warna dari rekaman atau gambar yang saya temukan, saya mengundang pemirsa untuk melihat gambar saya dalam konteks yang baru. Dipengaruhi oleh perpindahan tempat tinggal saya, eksplorasi warna terus menjadi salah satu fokus yang terus saya renungkan untuk memperluas perspektif saya. Melalui proses ini, saya menggali dan mengeksplorasi lebih jauh alat yang dapat digunakan dalam pembuatan karya lukis.

Warisan Kolonial dalam Representasi Indonesia Kontemporer

 + From West to East, From North to South Zico Albaiquni, 2024. Bagian tiga dari “lukisan” sebagai praksis.

Selama era kolonial Belanda, pemerintah kolonial di Hindia Belanda secara sengaja berupaya untuk melestarikan 'keaslian' wilayah tersebut. Sudut pandang yang tampaknya progresif ini hanyalah sebuah fasad yang dangkal. Pada intinya, terdapat pengejaran terhadap keuntungan ekonomi dan pertimbangan pragmatis yang mengesampingkan seluk-beluk masalah lokal. Meskipun demikian, jejak-jejak pola pikir dari Belanda ini telah meninggalkan warisan yang terus dihadapi oleh masyarakat Indonesia hingga hari ini.

Pelestarian yang dipengaruhi Belanda ini menghasilkan penggambaran artefak budaya prekolonial yang dipamerkan dalam tampilan museum, seperti misalnya wayang beber dari masa Pajajaran yang dipamerkan di Museum Sri Baduga. Namun, benda-benda yang terkumpul tidak memiliki dokumentasi dan deskripsi yang mudah diakses oleh publik. Kurangnya konteks ini menyebabkan masyarakat Sunda tidak mampu terlibat dengan perkembangan dan makna wayang beber. Akibatnya, perumpamaan atau aspek alegoris dari penggambarannya kerap kehilangan konteks dan penafsirannya dalam konteks kontemporer juga terus berubah. Dengan kata lain, artefak-artefak ini tampak statis di museum hanya sebagai objek untuk diamati, bukan untuk dihadirkan dan dihidupkan dalam ekspresi artistik kontemporer.

Oleh karena itu, saya melihat museumifikasi sebagai tindakan yang melepaskan artefak-artefak ini dari lingkungannya, yang menghambat perkembangan budaya.

Menariknya, saya menemukan kesamaan dalam pendekatan pemerintah Indonesia saat ini, di mana museum sering kali digunakan sebagai fasad belaka untuk mempromosikan pariwisata budaya. Pendekatan ini melanggengkan anggapan bahwa 'seni lukis' di Indonesia tetap terkungkung dalam kotak kaca museum yang mencegah segala bentuk interaksi atau keterlibatan di luar pengamatan visual. Praktik ini tampaknya berakar pada strategi kolonial Belanda namun terus berlanjut meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Sebagai kesimpulan, lukis saya pahami sebagai formasi budaya dalam seni yang memerlukan upaya untuk bisa dikaji secara ilmiah. Hal ini memiliki kerangka pengetahuan dan paradigma epistemologi yang sudah mapan dari tulisan Sanento Yuliman. Namun, saya berupaya memperluas khazanah dalamnya melalui eksplorasi praktis lukis. Melalui pemeriksaan kritis dan praktik artistik, saya berikhtiar untuk memfasilitasi dalam navigasi dan interpretasi pembentukan budaya, memperkaya pemahaman tentang budaya yang beragam, dan mendorong representasi yang lebih seimbang.

 + Doa Ibu Sepanjang Zaman Foto: Doni Ahmad, 2017. Suasana instalasi di Plengkung Gading, Yogyakarta.


Notes

1. Sanento Yuliman, “Tradisi Lukis di Indonesia: Lukis dalam Pengertian Sediakala”, Pikiran Rakyat  (1983), Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento Yuliman, ed. Asikin Hassan. (Jakarta: Yayasan Kalam, 2001), p. 7. https://artandaustralia.com/A_A/pp253/tradisi-lukis-di-indonesia-lukis-dalam-pengertian-sediakala-1983 

2. Sanento Yuliman, “Tradisi Lukis di Indonesia”, p. 7.

3. Sanento Yuliman, "Peristilahan Gambar", Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento Yuliman, ed. Asikin Hassan. (Jakarta: Yayasan Kalam, 2001), pp. 3–6.

4. Sanento Yuliman, "Peristilahan Gambar", pp. 3-6.

5. Teks ini pertama kali diterbitkan pada Revolusioner majalah dan kemudian diterbitkan ulang sebagai Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa, (Yogyakarta: Penerbit Indonesia Sekarang, 1946).

Sanento Yuliman's Seni Lukis And Painting | Zico Albaiquni
 + From West to East, From North to South Zico Albaiquni, 2024. Part two of "Lukisan" as a Praxis series. All rights reserved.

Sanento Yuliman's seni lukis and painting


Sanento Yuliman's seni lukis and painting

When the term seni lukis is uttered in Bahasa Indonesia, it automatically generates a vivid image in my memory, encompassing local history, culture, and everyday life. From there, I reassess how the term 'painting' shapes my way of sensing and interpretation within a context inseparable from the historicisation of contemporary art. In this research, I position seni lukis within a performative tradition, rather than its physical form as painting.

Drawing from Sanento Yuliman's 1983 essay 'Tradisi Lukis: Lukis dalam pengertian sediakala' (Tradition in Painting: Painting in the Sense of What It Used to be), I argue that thinking is doing.1 Sanento’s Seni lukis describes praxis, emphasising behaviour, action, skill, dexterity, and the specific way of creating. The English expression ‘to paint’ has genealogical roots in paint as a physical material and object while the Indonesian terms (lukisan, melukis, seni lukis) do not. 

My research activates materiality as experiential knowledge production. I paint, or perform, seni lukis through engagement with narratives.

During the Dutch East Indies Company (VOC) era, Pre-Modern Malay was adapted and primarily used for commercial purposes in Indonesia (Bazaar Malay). This continued when the Dutch colonial government took control of the colony. At that time, Pre-Modern Malay was chosen to control the spread of European liberal ideas and values to the colonies. Paradoxically, this created a sense of identity among young nationalists who later, on 28 October 1928, declared the Youth Pledge (Sumpah Permuda):

 + Historical Indonesian Youth Pledge, Sumpah Pemuda in 1928 Jakarta  Source: Wikimedia Commons. Licensed under CC BY 4.0 DEED Attribution 4.0 International.

FIRST.
We, the sons and daughters of Indonesia,
Acknowledge one motherland,
the motherland of Indonesia.
 
SECOND.
We, the sons and daughters of Indonesia,
acknowledge one nation,
the nation of Indonesia.
 
THIRD.
We, the sons and daughters of Indonesia,
acknowledge the language of unity,
the Indonesian language.

One motherland, one nation, the language of unity. Language became a unifying force and facilitated the communication of new ideas to the public on a broader scale, much like how it had previously been used as a tool for trade.

Sanento Yuliman defined the term 'painting' through tracing lukis from the Kawi word anglukis.2 The Kawi lukis as explained by Sanento is a practice with its own traditions. The Indonesian seni lukis in turn directed me to consider the practice in the performative rather than the material tradition. I am enthused by this, which inspires my process of activating materiality in knowledge production.

Furthermore, in broader Indonesian society, the terms lukis and gambar are interchangeable. In 'Peristilahan Gambar (The meaning of the word gambar)', Sanento Yuliman explains that gambar itself can be approximately described as a 'representational image.' Its historical usage includes human portraiture as well as description of statues. Sanento explains that over time, gambar evolved to describe various images, such as television shows, films, maps, photographs, or even 'mental pictures.'3 However, when objectivity is emphasised in gambar, the object of gambar will be realised on a physical area or a field. This physical area or field is the gambar’s medium, which can be in the form of a piece of board, paper, fabric, house wall, or other objects. This object is referred to as the artwork’s image—or gambar.

Seni lukis is not just about representational objects but should also be understood as a praxis. As Sanento explained, Tantu Panggelaran teaches us that lukis cannot be separated from belief. It is a skill passed down by the gods. Lukis makers are recognised by the term Empu (Indonesian: thumb) because it was the name given to the first lukis-maker, Empu Ciptangkara, and because they use their thumb when gripping the lukis tools.4

Melukis, or making lukis, is a god-given craft and the spiritual is an essential part of understanding this practice. The title Empu places emphasis on the thumb and explains the importance of further exploring the connection between dexterity, practice, and action. It also demonstrates the importance Tantu Panggelaran puts on this spiritual praxis; since it's not based on its materiality, lukis can manifest in various forms. Based on the story of Empu Ciptangkara, lukis can be carvings, sculptures, statues, fabrics, to surfaces such as glass.

Lukis cannot be separated from the act of creating something from nothing, and into a form that stirs the imagination. I believe that this tradition puts a noteworthy emphasis on praxis. This observation aligns with how other forms of art in Indonesia possess praxis dimensions.

My understanding of seni lukis takes a wider perspective that acknowledges the flexibility and the diversity of its manifestation, while also challenging the colonial paradigm. I have been researching the word barat (West) within Indonesian contemporary art discourse. One of the catalysts of this argument is Sudjojono's 1948 essay titled 'We Know Where We will be Taking Indonesian Painting.' The opening goes as follows:

As Indonesians, we admit that the art we make here nowadays has a western style. Nevertheless, to say that it is not an Indonesian style is not accurate. First, long before Raden Saleh, we had a history of painting. {Bold by this author}5

I have identified this as a turning point in Indonesian seni lukis history. I apply Sudjojono’s use of seni lukis as a philosophy to explore what else ‘painting’ could be beyond what I had previously studied in university. I consciously take this position and position my work and my role as an artist here: to delve into and enrich the treasury of knowledge.  

During the early phase of this inquiry, I studied numerous archives, texts, and historical images from the colonial era. I attempted to incorporate my insights into my lukisan and into my exhibition design.

From a Neutral to a Shared Space

I am enquiring into how our shared awareness of historical time informs our shared present. I am interested in how our awareness of contemporaneity influences our perception and perspective about time and history. 

In particular, I believe new media and information technology play an important role in actualising and representing this feeling of contemporaneity. As a result, I have been looking at images, recordings, and personal documents about these themes. These documents have been educating me on the essence, emotion, and the rationale behind Western seni lukis as well as visual arts present in their institutional structures.   

Spaces such as museums are an integral part of my discussion in this essay. My journey can be traced to my early encounters with colonial art exhibitions. My experience in those exhibitions informed my belief that the exhibition spaces cannot be separated from how Indonesian colonial history understood historical Indigenous societies. Indigenous societies tend to be positioned as “others”, which subsumes them into the established worldview. This perspective often results in concerning and limited conclusions instead of curiosity in understanding how these cultures develop. This in turn leads to Indigenous cultures being showcased and compared with the advancements in their countries.

 + From West to East, From North to South Zico Albaiquni, 2024. Part one of "Lukisan" as a Praxis series. All rights reserved.

 + Zico Albaiquni at the studio Photo: Kartika Larasati, 2024. All rights reserved.

In my artistic practice, I experiment with the idea of cultural interaction within the arts. I transform an exhibition space into an image and create an environment with multiple points of entry. This environment invites discussion on topics such as globalisation, technological advances, social and political transformations, and the fragmentation of historical narratives. In transforming space into image, I create conditions that transform how real objects in physical space is understood. By using my exhibition space as the focal point, I guide my audience toward the mental space of interpretation. 

Through this exploration, I have come to realise that exhibition spaces—that are traditionally understood to be neutral and universal—inherently possess certain contextual and institutional frameworks that steer them away from an idea of neutrality. Instead, exhibition spaces could be shared spaces: for example, the front porch, the living room, spaces that are dynamically changing. Seni is an in-between space that is partitioned but not closed off. Exhibition space, part of Indonesia’s colonial legacy, is not meant to be eliminated because of the wounds, the trauma, and the tarnished heritage that it carries. Rather, my seni lukis acknowledges historical fragments, human beings, spirits, and carries the essence of the legacy of those who have interacted before us.

This process of cleansing is called ruatan/ruwatan in Sundanese culture. I intend to continuously study ruatan with the objective of fostering empathy and facilitating emotional management, which in turn informs how I generate spiritual benefits when executing lukis. The objective is to develop an outlook that transcends the erroneous dialectic of describing the use of museum-like spaces as neo-colonialist and the disavowal of these spaces as a decolonial act, which is not productive.

Colour as a Method

 + Photo: Zico Albaiquni, 2021. Villa Isola located in Bandung, the building was designed by Dutch architect Charles Prosper Wolff Schoemaker. All rights reserved.
 + A House with a "Poverty Green" Colour Photo: Zico Albaiquni, 2023. The house is located at Cigorowong, Ciamis. All rights reserved.

I transform colours displayed on painting into lukis work through research into the etymology of lukis. Colour contains narratives. It has historical significance, is a marker of trade, an indicator of technological progress, a reflection of class, and a symbol of social status and tastes. When used actively, colour has the potential to disrupt, to captivate, and open lines of conversation. Through colour, I endeavour to defamiliarise my paintings, at times by collaging images from Western fine art history, imbuing them with hues associated with the tropics, kampungan (plebeian) sensibilities, and the vulgar classes. 

When I am creating lukis, colour pigments are the crucial medium for my engagement with the audience. My use of colours is informed by my studies on colour theory and composition. My paintings are further informed by Pythagoras principles to create a sense of harmony. I chose Pythagoras as a starting point because of its alignment with Sundanese philosophy of 'mutual care, mutual compassion, mutual care.' This is a pragmatic artistic formulation which is then used to determine colour value composition.    

The colours used were inspired by the colours found in the villages of West Java. These colours are often considered as plebeian, vulgar, and uncultured when compared to other colours associated with Javanese culture, especially the natural and concentrated colours found in Javanese palaces or those found in art deco Dutch houses in Bandung. Initially associated with class differences, these plebeian colours were even associated with poverty, serving as foil to the elegant and prestigious white commonly found in the city's colonial houses.   

By changing the colours of my found footage or images, I invite viewers to discover these found images in a different context. In my physical migratory movements, the exploration of colour continues to be one focus that broadens my perspective. Throughout, I am refining the tools that help in the creation of my lukis.

Colonial Legacy in Contemporary Indonesian Representation

 + From West to East, From North to South Zico Albaiquni, 2024. Part three of "Lukisan" as a Praxis series. All rights reserved.

During the Dutch colony era, the Dutch Indies colonial government had deliberately attempted to preserve the "authenticity" of the region. This seemingly progressive viewpoint is a superficial façade. In its core, there was a pursuit for economic profits and pragmatic considerations that overrides local intricacies. Nonetheless, traces of this Dutch strategy can still be found in Indonesian society today. 

This Dutch-influenced strategy has resulted in the way precolonial cultural artefacts, such as Wayang Beber from the Pajajaran era showcased at the Sri Baduga Museum are displayed in museums. However, the collection lacks accessible documentation and exhibition captions. This lack of context means Sundanese are unable to properly engage with the history and significance of Wayang Beber even though it is a part of their culture. Consequently, contemporary interpretations undergo constant change as the proverbs and allegory are lost. In other words, these static artefacts serve merely as observable objects in the museum and are not actively used for contemporary artistic expression.

 + The Silent Storyteller from the East Zico Albaiquni, 2024. Wayang Beber dalang is depicted in front of the house. All rights reserved.

Therefore, I see museumification as an act that detaches the artefacts from their environment, in turn stifling cultural growth.   

On an interesting note, I am noticing a similar trend in the Indonesian government's approach, where museums are often used as a façade to promote cultural tourism. This approach reinforces the belief that Indonesian seni lukis stays confined in a museum display case, preventing any kind of interaction or involvement beyond visual observation. Their strategy is rooted in a Dutch colonial strategy but preserved in a different form.    

In conclusion, I have understood lukis as a cultural formation that requires further literary study. It already has solid knowledge framework and epistemology paradigm from Sanento Yuliman’s writing practice. I am attempting to further expand this knowledge trove through my practical exploration of lukis. Through my critical examination and artistic practice, I intend to facilitate the navigation and interpretation of cultural formations, enrich the understanding of diverse cultures, and advocate for a more commensurate representation.

 + Zico Albaiquni, Doa Ibu Sepanjang Zaman Photo: Doni Ahmad, 2017. Plengkung Gading, Yogyakarta, Indonesia. All rights reserved.


Notes

1. Sanento Yuliman, “Tradition in Painting: Painting in the Sense of What It Used to be,” translated by Zico Albaiquni, https://artandaustralia.com/A_A/pp253/tradisi-lukis-di-indonesia-lukis-dalam-pengertian-sediakala-1983

2. Sanento Yuliman, “Tradition in Painting.”

3. Sanento Yuliman, "Peristilahan Gambar" "Gambar” and other Relevant Terms , Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento YulimanThe Two Types of Visual Arts: An Anthology of Writings by Sanento Yuliman , ed. Asikin Hassan (Jakarta: Yayasan Kalam, 2001), pp. 3–6.

4. Sanento Yuliman, "Tradition in Painting.”

5. Sindoedarsono Sudjojono, “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia akan Kami Bawa” We Know Where We Will Be Taking Indonesian Art Revolusioner (1946), translated by Brigitta Isabella, Southeast of Now: Directions in Contemporary and Modern Art in Asia 1, no. 2 (2017), pp. 159-164. https://doi.org/10.1353/sen.2017.0017.


Links & Info